Setiap detiknya, manusia dihadapkan pada proses berpikir. Bagi sastrawan, berpikir adalah kegiatan merajut keindahan. Keindahan berpikir mengajak berpetualang pada kemungkinan-kemungkinan di dunia. Kreativitas dan inovasi berpikir akan menciptakan karya estetis. Sastra merupakan hasil berpikir estetis sastrawan terhadap fenomena yang terekam oleh indera.
Sastra dan filsafat pada dasarnya mengajak manusia berpikir tentang hidup. Baik dari sudut pandang sastrawan hingga pembaca sastra (resepsi). Berpikir inilah inti dari perjalanan filsafat. Ketika seseorang membaca sastra atau bersastra, sesungguhnya sedang berfilsafat, menghayati filsafat hidup. Berbicara tentang filsafat, kita akan dituntun pada pemikiran-pemikiran yang kritis terhadap hidup. Hidup memang terlalu indah untuk dipikirkan, dan keindahan itulah sulit dilupakan. Filsafat menghantarkan manusia mencari tidak terbatas pada hukum-hukum ataupun aturan. Betapa luas ilmu pengetahuan yang dapat dipelajari dan kemudian dimaknai sebagai sebuah pelajaran hidup.
Sementara itu, sastra hakikatnya diperoleh dan dicipta melalui olah pikir. Seorang sastrawan bercerita menuangkan pikiran, saat itu ia sedang berfilsafat. Belajar memahami makna kalimat tersebut, menimbulkan simpulan bahwa karya tercipta karena manusia sedang berfilsafat. Sementara, filsafat itu sendiri sesungguhnya termuat di dalam karya sastra. Filsafat merupakan jalan pemikiran. Hal itu mengingatkan pada persepsi Budi Darma tentang orientasi sastra dan filsafat. Bahwa keduanya sama-sama studi ilmu.
Kedudukan sastra dan filsafat, Darma mengenal istilah ‘filsafat dan sastra, ‘sastra dalam filsafat’ dan ‘filsafat dalam sastra’ (2019:42). Filafat dan sastra hakikatnya keduanya sejajar—sama-sama mengajarkan tentang kebijaksanaan hidup manusia. Sastra dalam filsafat, menunjukkan bahwa filsafat bermuatan sastra. Sedangkan, filsafat dalam sastra memiliki makna bahwa segala rupa sastra sesungguhnya masuk ke dalam sastra. Bagaimanapun, sastra menyimpan makna yang tidak hanya bisa dirasakan, namun mampu menggerakkan (movere), walau ditingkat pribadi sekalipun (Dahana, 2001:24).
Pentingnya dipahami bahwa hubungan sastra dan filsafat, pada dasarnya berangkat dari sebuah pemikiran. Kedunya, sama-sama mengungkapkan pemikiran-pemikiran berdasarkan dunianya. Menurut Sutardja, sastra sangat dekat dengan filsafat (1995:27-28). Adapun dasar pijak keduanya bermuasal dari realitas itu sendiri. Apabila filsafat bertolak dari kenyataan lalu hendak diabstraksikan. Filsafat mencari jati dirinya dan hakikatnya. Maka, bukan sesuatu yang mustahil, sastra dimulai dari apa yang ada dalam kenyataan lalu diolah lewat tulisan atau kata-kata. Secara kreatif, sastrawan bermain kreasi dunia imajinasi yang ditata dan dihimpun dari kesadaran akal, batin, dan badan (Dahana, 2001:25).
Berangkat dari kesamaan berupa realita, muara sastra dan filsafat pada dasarnya terletak pada pengalaman menghayati kehidupan. Poespowardojo dan Seran menilai filsafat merupakan refleksi kritis terhadap pengalaman hidup (2015:205). Hal itu senada dengan Atmosuwito, mengungkapkan filsafat yang bersumber pengalaman menghayati realitas hidup (1989:127). Realitas itu kemudian didukung oleh dua bahan pokok utama, yaitu temuan ilmu empiris dan pengalaman empiris. Temuan ilmu empiris berhubungan erat dengan filsafat bahasa pemakaian bahan baku linguistik. Sementara pengalaman empiris yaitu ketika seseorang berfilsafat memanfaatkan pengalamannya sendiri.
Kaitannya dengan pengalaman hidup, penting diketahui bahwa filsafat memiliki ciri-ciri sebagai puncak dari ilmu pengetahuan. Menurut Poespowardojo dan Seran, di antaranya (1) refleksi, yaitu mempelajari fakta dengan mengaitkan dengan ilmu-ilmu alam. Dengan cara ini fakta mempunyai arti atau nilai untuk manusia; (2) kebijaksanaan, yaitu mempertibangkan antara objek kesenangan dan nilai masa depan. Kebijaksanaan adalah kearifan untuk memihak pada keseimbangan dan harmoni; (3) kritik, yaitu kondisi timbul pertanyaan kritis dalam mencari hakikat pengalaman hidup untuk memuaskan keinginan manusia. Keheranan filosofis adalah kesangsian filosofis (mempertimbangkan jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan hakikat kenyataan). Kesangsian filosofis adalah kritis terhadap apa yang dipilih atau ditolak dengan alasan; dan (4) metode, yaitu jalan rasional, berpola, dan enyatakan sebuah keseluruhan sistem yang digunakan untuk menjelaskan hakikat pengalaman hidup. Metode filsafat ini bersifat subjektif dengan melibatkan kepentingan pribadi dan akal sehat (2015:206-209).
Di sinilah sastra dan filsafat bekerja sama merefleksikan dan menemukan sumber air untuk diselesaikan. Maka dari itu, sastrawan memiliki tantangan besar tentang bagaimana mengolah kehidupan sebagaimana dihayati. Kemudian penghayatan tersebut dituliskan dengan bahasa puitis, imajinatif. Inilah kejelasan sastra penghayatan hidup. Bahwa sastra memaparkan pengalaman secara langsung, konkret tanpa membuat sistematis. Bahasanya yang khas, langsung, dan mengalir berpotensi besar menciptakan dunia lain di kehidupan sastrawan. Cara ini disebutkan sebagai sejarah pemikiran, yang berarti turunan dari pemikir dalam pemikir dalam arti yang sebenarnya (Darma, 2019:43).
Pada konsep ini para sastrawan menakar salah satu fungsi sastra dulce et utile, berarti sastra menyajikan keindahan dalam imajinasi. Sastrawan akan membungkus dunia dengan keindahan luar biasa. Menurut Endraswara, keindahan dalam berpikir akan melahirkan kreativitas dan inovasi dalam berbagai hal (2012:vii). Sebagaimana pemikiran sastrawan, sastra sebagai ekspresi realitas sosial akan mengarungi dunia estetis. Lewat filsafat, sastra bebas menawarkan dasar-dasar kehidupan. Filsafat mengingatkan seseorang manusia pentingnya untuk berpikir estetis. Berpikir itu indah sebab akan mengajak otak bertamasya ke mana-mana. Berpikir tentang hidup, itulah keindahan yang sulit dilupakan. Berpikir yang dikemas, ditata, dan diramu secara sadar, biarpun imajinatif tetaplah penting.
Hidup ini
memerlukan sebuah pemikiran filosofi untuk mencapai pemaknaan hidup. Filosofi
kehidupan selalu berusaha untuk mengetahui kebenaran. Sebuah kebenaran
berdasarkan konteks-konteks tertentu. Kebenaran menurut Darma diartikan sebagai
produk manusia selalu berupa kebenaran relatif (2019:38). Dalam karya sastra,
kebenaran juga dipandang demikian berlaku pada konteks tertentu. Sebagaimana
novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana tentang kebenaran
masa depan. Yusuf gagal menikah dengan Maria karena memiliki pandangan yang
berbeda tentang masa depan. Akhirnya, Yusuf menikah dengan Tuti, Kakak Maria
yang memiliki orientasi masa depan sama.
Sementara,
kebenaran lain menurut Sanusi Pane dalam Belenggu, merupakan kegagalan
menikah disebabkan karena keduanya satu mitra yang setara. Dalam konteks ini,
kebenaran yang disampaikan oleh Sanusi berbeda, bahkan bertolak dengan
pandangan kebenaran menurut Sutan Takdir Alisyahbana. Kebenaran dalam sastra
terikat pada perkembangan zaman. Kebenaran bagi seorang sastrawan pula bersifat
relatif berdasarkan sudut pandangnya masing-masing. Benang merahnya, kebenaran
dalam sastra, puncaknya adalah mengajarkan manusia tentang sebuah pemikiran
humanis.
Pikiran-pikiran sastrawan amat dekat dengan filsafat. Menurut Plato, berfilsafat merupakan berkontemplasi tentang idea yang baik (the good) sebagai prinsip kesatuan dari realitas yang majemuk (2015:209). Karya-karya zaman pujangga, memiliki kedalaman filosofi luas biasa. Mengajarkan sastra, mau tidak mau bersentuhan dengan filsafat. Sebab, sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa sastra tidak terlepas dari dunia pemikiran sastrawan. Melalui pemikirannya, sastrawan selalu ingin menyuarakan kebenaran lewat bahasa yang khas, simbolik, dan filsafati (Endraswara, 2012:4). Bersamaan itu, karya-karya sastra menyumbangkan pikiran yang logis dan bertanggung jawab dalam misi membangun konteks pola pikir filsafati.
Hakikat filsafat dan sastra merupakan buah pemikiran yang indah. Membaca karya-karya filsafat sama halnya mengenali dan menikmati keindahan. Karya-karya filsafat dapat dijumpai dalam tulisan William Shakespeare, Albert Camus, AA, Cummings, John Keat, Edgar Allan Poe, George Sand dan George Eliot, Dostoyevsky, Goethe, Bridges, dan sebagainya. Sementara karya-karya lokal dapat dijumpai dalam tulisan novel Suparta Brata, Krishna Miharja, Pramoedya Ananta Toer, Any Asmara, Suwardi Endraswara, Sudharma KD, Ki Ageng Suryamentaram, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, dapat dikatakan titik temu sastra dan filsafat, sesungguhnya sastra menjadi bahan sastrawan untuk berfilsafat. Filsafat bertindak merefleksikan atas pengalaman manusia dalam hidupnya, yang telah diramu melalui akal budi, dan diceritakan dengan pengategorian yang tepat. Filsafat menelisik aspek tiruan realitas dalam sastra. Sementara sastra menjadi warna atas refleksi pengalaman manusia. Sastra bertindak menciptakan kembali keindahan atas realitas dengan memanfaatkan bahasa yang puitis dan imajinatif. Puncak dari penyuaraan refleksi ini adalah timbul makna dan nilai kehidupan. Sastra seumpama corong filsafat yang memanfaatkan pemikiran untuk membuka mata pikir pembaca sastra.
Komentar
Posting Komentar