Bumi bergerak, waktu bergerak, maka kita pun harus bergerak. Mengapa orang bergerak, tentu hendak memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga timbul rasa terpuaskan dan memberikan makna tertentu.
Segitiga Maslow, menyoroti kebutuhan manusia melalui hirarki lima tingkatan, seperti kebutuhan fisiologis atau biologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa cinta dan memiliki, kebutuhan akan harga diri, dan kebutuhan akan aktualisasi diri.
Kali ini, saya hendak membahas bagaimana seseorang memenuhi kebutuhan biologis, seksual. Pikiran ini terlintas begitu usai membaca sebuah tulisan menarik Gairah Seksusl yang Tak Lazim, di koran Kompas edisi 8 Agustus 2020.
Kaitannya dengan kebutuhan manusia, seks merupakan kebutuhan utama atau dasar. Kebutuhan itu harus dipenuhi tidak dapat ditunda-tunda sebagai kelangsungan hidup manusia. Pertanyaannya, bagaimana apabila kebutuhan seks tidak terpenuhi? seseorang cenderung akan melakukan penyimpangan. Dan, ini sedang melanda anak generasi muda di era pandemi C0vid-19.
Gairah Seksual yang Tak Lazim, menguak tentang bagaimana seseorang memuaskan hasrat seksualnya untuk mencapai titik gairah dan fantasi. Disebutnya parafilia, yaitu perilaku seksual yang tidak normal menurul nilai sosial, budaya, dan agama yang berlaku. Parafilia dapat ditandai dengan munculnya fantasi dan dorongan seksual tak lazim secara berulang, minimal enam bulan, dan berperan dominan dalam mencapai kepuasan seksual seseorang.
Aditya Diveranta dan M Zaid Wahyudi melalui wawancara psikiater Nalini Muhdi dan psikolog Adityawarman Menaldi, mengklasifikasi jenis parafilia.
Pertama, eksibisionisme, yaitu perilaku memperlihatkan alat kelamin kepada orang asing yang tak curiga. Keterkejutan korban justru akan membangkitkan gairah mereka.
Kedua, fetisisme, yaitu gairah seksual muncul saat memandang, memegang atau menciumi benda mati yang umumnya merepresentasikan barang perempuan, seperti pakaian dalam, kutang, sepatu hak tinggi, atau rambut palsu.
Ketiga, tranvestisisme/festisisme transvestik, yaitu gairah seksual pada laki-laki heteroseksual yang muncul dengan memakai pakaian perempuan.
Keempat, frotteurisme, yaitu dorongan seksual muncul dengan menyentuh atau menggosokkan alat kelaminnya pada tubuh orang asing, umumnya terjadi ditempat yang padat seperti angkutan umum saat jam sibuk.
Kelima, pedofilia, yaitu fantasi dorongan dan perilaku seksual dengan melibatkan anak-anak yang berumur kurang dari 13 tahun.
Keenam, masokisme seksual, yaitu kepuasan seksual yang diperoleh dengan mendapat hinaan, kata-kata kotor, pukulan, dan penderitaan dari pasangannya dengan derajat kekerasan yang beragam (yang mendapat kekerasan).
Ketujuh, sadisme seksual, yaitu gairah seksual yang diperoleh melalui mempermalukan atau melakukan kekerasan fisik terhadap pasangannya (yang mendapat kekerasan).
Kedelapan, voyeurisme, yaitu gairah seksual dengan mengamati atau mengintip orang yang sedang membuka baju atau tidak berpakaian tanpa persetujuan atau kecurigaan korban.
Kesembilan, nekrofilia, yaitu gairah seksual dengan janazah atau mayat.
Kaitannya dengan hal ini, saya teringat perihal kasus fetisisme dengan mengikat tubuh menggunakan plakban dan membungkusnya dengan kain jarik. Menurut Adityawarman, perilaku ini disebabkan karena ketidakseimbangan hormon sehingga memiliki dorongan seksual tak lazim. Ketakseimbangan hormon itu bisa dipicu karena mengonsumsi obat terlarang, alkohol, dan zat tertentu.
Inilah fakta mengerikan di tengah stressnya pandemi, seseorang bisa melakukan hal-hal yang bisa dibilang gila, tidak umum, tidak lumprah. Bukan sesuatu yang tabu, kasus semcam ini bisa terjadi pada diri kita. Karenanya, doa terbaik iman yang kuat jadikan benteng dalam hal apa pun.
Komentar
Posting Komentar